Halalnya Jual Beli, Serta Syarat dan Rukunnya - Media Edukasi Aset Kripto dan Web3 Halal Pertama di Indonesia

Halalnya Jual Beli, Serta Syarat dan Rukunnya

Manusia sejak zaman dahulu kala pasti tidak lepas dari aktivitas jual-beli. Manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui aktivitas jual-beli.

Halalnya jual beli

Dalam Islam pun, jual-beli dihalalkan oleh Allah ta’ala. Sebagaimana dalam firman Allah ta’ala (yang artinya),

“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).

Ayat ini turun untuk membantah syubhat orang jahiliyah yang melakukan riba dengan alasan bahwa jual-beli juga sama dengan riba. Dalam Tafsir Ath Thabari dijelaskan, sebab turunnya ayat ini adalah perkataan para pelaku riba di zaman jahiliyah:

“Berikan aku tempo pembayaran dan saya akan tambahkan uang pengembaliannya”.

Ini adalah riba dalam hutang-piutang. Dan orang jahiliyah jika diingkari, mereka akan mengatakan:

“Ini sama seperti jika menambahkan harga pada awal jual beli, dengan menambahkan pembayaran hutang”.

Orang jahiliyah menyamakan penambahan pengembalian hutang dengan pemberlakukan harga berbeda antara jual beli tunai dan tempo. Maka Allah pun bantah dengan ayat (yang artinya), “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).

Syarat dan rukun jual beli

Dalam jual beli terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar jual beli menjadi sah. Para ulama mengatakan bahwa jual beli memiliki empat rukun, yaitu:

  1. adanya pembeli
  2. adanya penjual
  3. adanya barang
  4. adanya shighah atau ijab-qabul.

Sebagian ulama menyebutkan rukun jual beli ada tiga saja, yaitu pihak yang berakad, barang dan akad. Dalam Al-Fiqhul Muyassar disebutkan, “Rukun jual-beli ada tiga: pihak yang berakad (penjual dan pembeli), ma’qud ‘alaihi (barang), dan shighah. Pihak yang berakad di sini mencakup penjual dan pembeli. Sedangkan ma’qud ‘alaihi adalah barangnya. Dan shighah adalah ijab dan qabul” (Al-Fiqhul Muyassar, hal. 211)

Aktivitas jual-beli tanpa ada tiga atau empat komponen di atas, tidak dapat dikatakan jual beli yang sah secara syar’i.

Adapun shighah jual-beli atau akad, berupa ucapan atau perbuatan yang menunjukkan adanya maksud dari kedua belah pihak untuk melakukan jual-beli. Shighah tidak harus berupa ucapan, namun bisa juga dengan perbuatan.

“Ijab adalah lafadz yang diucapkan oleh penjual. Semisal dia berkata, “Saya jual barang ini …”. Adapun qabul, dia adalah lafadz yang diucapkan oleh pembeli. Semisal dia berkata, “Saya beli barang ini…”. Ini adalah bentuk shighah qauliyah (ucapan). Shighah juga bisa berupa fi’liyah (perbuatan), yaitu dengan mu’athahMu’athah adalah serah-terima barang. Contohnya ketika pembeli menyerahkan uang kepada penjual, lalu penjual memberikan barangnya kepada pembeli, tanpa ada perkataan apa-apa” (Al-Fiqhul Muyassar, hal. 211-212).

Adapun syarat jual beli, para ulama menyebutkan ada tujuh syarat. Ibnu Balban rahimahullah mengatakan, “Dengan memenuhi tujuh syarat: [1] adanya rida antara dua pihak, [2] pelaku jual-beli adalah orang yang dibolehkan untuk bertransaksi, [3] yang diperjual-belikan adalah harta yang bermanfaat dan mubah (bukan barang haram), [4] harta tersebut dimiliki atau diizinkan untuk diperjual-belikan, [5] harta tersebut bisa dipindahkan kepemilikannya, [6] harta tersebut jelas tidak samar, [7] harganya jelas” (Akhsharul Mukhtasharat, hal. 164).

Penjelasannya:

  1. Adanya keridaan dari penjual dan pembeli

Allah ta’ala berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan rida (suka sama-suka) di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa: 29).

Jual-beli harus disertai rida dari kedua pihak. Contoh yang tidak memenuhi syarat ini adalah perampasan. Jika barang dagangan diambil tanpa keridaan pemiliknya, maka jual-beli seperti ini batal. Karena penjualnya tidak rida (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25/7).

  1. Penjual dan pembeli beli adalah orang yang mukallaf.

Pelaku transaksi haruslah orang yang dibolehkan untuk bertransaksi. Baik penjualnya maupun pembelinya. Jika pelakunya orang yang dungu, atau anak kecil, atau orang gila, atau hamba sahaya, maka tidak sah jual-belinya. Namun dibolehkan anak kecil untuk menjual atau membeli barang-barang yang nilainya kecil. (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25/8).

  1. Barang berupa harta yang bermanfaat dan mubah

Barang jual-beli haruslah berupa al-maal. Dan suatu hal disebut dengan al-maal, jika ia memiliki nilai manfaat dan mubah (boleh digunakan) (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25/9).

  1. Barangnya dimiliki atau diizinkan untuk dijual

Barang yang dijual harus dimiliki atau diizinkan untuk dijual. Contoh yang tidak memenuhi syarat ini adalah jika seseorang menjual barang yang bukan miliknya. Maka janganlah seseorang menjual kambing milik orang lain, atau rumah milik orang lain, walaupun rumah itu milik ayahnya atau ibunya. Kecuali jika ia dijadikan sebagai wakil dan diizinkan untuk menjualnya. Maka ketika itu ia berposisi sebagai pemilik barangnya (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25/10).

Namun, syarat ini berlaku untuk barang yang mu’ayyan (spesifik) bukan pada barang yang maushuf. Adapun menjual barang yang maushuf (hanya disebutkan sifat-sifatnya saja), tidak spesifik, maka tidak harus dimiliki terlebih dahulu. Seperti pada akad salam.

  1. Barang harus bisa diserahkan

Barang yang diperjual-belikan harus bisa diserahkan. Jika tidak bisa diserahkan, maka tidak sah akadnya. Para ulama mencontohkan dengan jual beli unta yang kabur. Secara umum, unta yang kabur itu tidak bisa ditemukan lagi (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25: 11).

  1. Barangnya jelas, tidak samar

Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, ia berkata,

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melarang jual beli dengan mengundi kerikil dan melarang jual beli gharar” (HR. Muslim no. 1513).

Jual beli gharar adalah jual beli yang terdapat unsur ketidak-jelasan. Maka barang yang diperjual-belikan harus jelas.

  1. Harganya jelas

Harga barang harus diketahui. Karena harga adalah salah satu dari al-‘iwadh (yang ditukarkan dalam jual-beli). Dan al-‘iwadh itu harus jelas bagi kedua pihak. Maka uang yang harus dibayarkan oleh pembeli haruslah jelas (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25/13).

Wallahu a’lam.

Referensi: Syarah Akhsharul Mukhtasharat Syaikh Abdullah bin Jibrin.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *