Antara Riba Dan Gharar
Hukum asal muamalat adalah boleh, ini adalah pendapat yang kuat.[1] Selama tidak ada hal-hal yang menyebabkan berpindah hukum ke haram maka tetap diperbolehkan. Di antara indikasi utama keharaman muamalat ada tiga yaitu riba, gharar, dan zalim.[2]
Sayangnya terkadang terjadi kesalahan fatal ketika memahami bentuk riba dan gharar yang menyebabkan keharaman tersebut.
Perlu diketahui bahwa segala bentuk riba diharamkan, baik sedikit maupun banyak, ini adalah ijma’ para ulama berdasarkan dalil-dalil ayat dan hadits.[3] Sedangkan ghahar tidak semuanya diharamkan, ada syarat-syarat yang menyebabkan gharar diharamkan, yaitu jika banyak dan pada akad utama dan tidak ada kebutuhan darurat untuk melakukan akad tersebut.[4] Jika gharar tersebut ringan maka ulama sepakat hukumnya diperbolehkan.[5]
Keliru jika seseorang menganggap bahwa semua gharar diharamkan sebagaimana semua riba diharamkan. Keliru juga jika seseorang menganggap riba yang ringan dan sedikit diperbolehkan, misalnya hanya sekian persen, sebagaimana gharar yang ringan diperbolehkan.
Menghukumi sesuatu haram karena terdapat gharar juga perlu diperjelas dimana letaknya, karena bentuk gharar bermacam-macam, bisa jadi yang tidak jelas adalah pada ada atau tidak adanya benda yang ditransaksikan, atau sifatnya dan jenisnya, atau kadar ukuran dan nominalnya, atau harganya, atau bisakah diserahterimakan.[6]
Wallahu’alam
Oleh: Fida’ Munadzir
[1] Ini adalah pendapat mayoritas Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Bahkan Ibnu Rajab mengatakan bahwa sebagian ulama menukil ijma’ dalam masalah ini. (Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam 2/166)
Pendapat yang lainnya menyatakan bahwa hukum asal dalam muamalat diharamkan, ini pendapat Al-Abhari dari kalangan Malikiyah dan Ibnu Hazm dari kalangan Zahiriyah. (Ihkam Fushul, Al-Baji, hlm. 681 dan Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Ibnu Hazm, 5/15-16)
[2] Lihat Mukhtashar Al-Fiqh Al-Islami Fi Dhau Al-Kitab wa As-Sunnah, At-Tuwaijiri, hlm. 725. Tiga hal tersebut yaitu Riba, Zalim dan Gharar adalah poros mumamalat yang haram, sekalipun ini bukan pembatasan dan sebagian menyebutkan lebih dari tiga.
[3] Al-Qurthubi dalam tafsirnya menukil ijma’ bahwa mensyaratkan ada tambahan dalam hutang adalah riba walaupun segenggam makanan hewan atau satu butir biji-bijian, beliau menyebutkan bahwa itu sesuai dengan pernyataan Ibnu Mas’ud. (Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an 3/241) Mayoritas ulama yang mencakup Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa akad transaksi yang terdapat riba padanya maka akadnya batal, seolah-olah akad tersebut tidak terjadi, berdasarkan kaidah bahwa larangan dalam syariat menunjukkan bahwa dia diharamkan.
[4] Dalam Al-Ma’ayir As-Syar’iyah hlm. 420 disebutkan bahwa ketentuan gharar yang merusak muamalat ada empat, yaitu pada akad mu’awadhat maliyah atau yang semakna, gharar tersebut banyak, pada akad utama, dan tidak ada kebutuhan yang muktabar secara syariat yang mengandung gharar.
[5] Di antara ulama yang menukil ijma’ dalam hal ini adalah Al-Jasshash, Ibnul Arabi, An-Nawawi, dan Ibnu Qasim. (Lihat Ahkam Al-Qur’an oleh Al-Jasshshash 2/189, Al-Masaalik fi Syarh Muwattha’ Malik oleh Ibnul Arabi 6/83, Al-Majmu’ oleh An-Nawawi 9/258, Syarh Ar-Raudh Al-Murbi’ oleh Ibnu Qasim 4/351)
Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa hampir tidak ada akad muamalat yang benar-benar bersih atau terlepas dari gharar, pasti ada bagian-bagian tertentu yang terjadi gharar. (Lihat Al-Muntaqa Syarh Muwattha’ oleh Al-Baji 5/41)
[6] Lihat misalnya penjelasan macam-macam gharar oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawaid An-Nuraniyah hlm. 171.