Pinjam Motor, Isi Bensin, Ribakah?
Ada kerancuan yang tersebar di masyarakat terkait dengan riba. Riba yang jelas-jelas merupakan dosa besar dan disepakati haramnya oleh para ulama, ingin dikesankan hal yang boleh dan lumrah dengan syubhat ini. Bunyi syubhat tersebut adalah, “Jika seseorang pinjam motor kepada temannya, lalu temannya mengatakan: motor ini akan saya pinjamkan tapi nanti kalau sudah selesai di isi ya bensinnya! Kalau kita katakan riba itu haram, maka kasus seperti ini nanti akan menjadi haram juga. Karena adanya tambahan dalam pinjaman”.
Seolah-olah kita diajak untuk menghalalkan riba, karena jika riba diharamkan maka kita akan kesulitan dalam pinjam meminjam barang. Padahal riba sudah jelas haramnya. Allah ta’ala berfirman:
أحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).
Pertama, ada problematika bahasa di sini. Dalam bahasa kita, berhutang juga disebut dengan meminjam. Demikian juga meminjam sepeda motor, disebut juga meminjam. Padahal dalam bahasa Arab dan bahasa fikih, dua hal tersebut beda. Hutang-piutang itu disebut qardhun, sedangkan meminjam barang itu disebut ‘ariyatun. Ini dua hal yang berbeda.
Kedua, yang ada dalam kaidah riba adalah qardhun. Kaidahnya berbunyi:
كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا
“setiap qardhun (hutang-piutang) yang mendatangkan manfaat (bagi orang yang menghutangi) maka itu adalah riba“.
Sehingga ini tidak berlaku untuk ‘ariyatun.
Ketiga, perbedaan antara qardhun dan ‘ariyatun adalah dalam qardhun (hutang-piutang) dzat dari harta itu diserahkan total kepada peminjam, dan terjadi perpindahan kepemilikan. Orang yang berhutang uang 1 juta rupiah, maka ia mendapatkan kuasa atas uang 1 juta rupiah tersebut setelah didapatkan. Boleh dibelanjakan, boleh disedekahkan atau bentuk muamalah lain yang dia inginkan. Karena uang itu menjadi miliknya. Hanya saja ia memiliki tanggunan untuk mengembalikan sejumlah uang kepada peminjam.
Sedangkan yang ada dalam ‘ariyatun adalah istibahul manfa’ah, pembolehan untuk memanfaatkan harta yang dipinjam. Seseorang meminjamkan sepeda motor kepada temannya, artinya ia membolehkan temannya untuk memanfaatkan sepeda motor tersebut. Namun sepeda motor itu tidak berubah kepemilikannya, tidak boleh dijual atau digadaikan oleh peminjam.
Dalam qardhun, harta yang dikembalikan tidak harus sama persis. Orang yang meminjam yang 100 ribu rupiah dengan nomor serial “A5377RE3000” misalnya. Ketika ia membayar hutang, tidak harus dengan yang 100 ribu rupiah dengan serial yang sama.
Adapun dalam ariyatun, barang yang dikembalikan adalah barang yang sama ketika meminjam. Karena memang tidak ada perpindahan kepemilikan, hanya membolehkan untu memanfaatkan.
Keempat, para ulama menyebutkan, boleh melakukan ‘ariyatun (meminjamkan barang) dengan disertai syarat, selama disepakati kedua pihak. Sebagian ulama mengatakan, akadnya berubah menjadi ijarah (sewa), yang juga boleh hukumnya.
Dalam Kasyful Qana’ (12/497), Al Buhuti menjelaskan:
وأن شرط المعير لها أي الإعارة عوضاً معلوماً في عارية مؤقتة بزمن معلوم صح ذلك وتصير إجارة تغليباً للمعنى كالهبة إذا شرط فيها ثواب معلوم كانت بيعاً،
“Jika orang yang meminjamkan barang mempersyaratkan peminjam dengan suatu timbal balik tertentu, dan pinjamannya ditentukan waktunya yang tertentu, maka ini sah dan menjadi akad ijarah karena sudah tercakup dalam makna ijarah. Demikian juga hibah, jika dipersyaratkan dengan suatu timbal balik tertentu, maka ini menjadi jual beli”.
Kesimpulannya, pinjam barang itu boleh-boleh saja walaupun ada syaratnya. Adapun riba dalam hutang-piutang, tetap haram hukumnya.
Wallahu a’lam.